Pengertian Alat Bukti
Setiap tuntutan hak atau menolak tuntutan hak harus
dibuktikan di muka sidang pengadilan. Dalam pembuktian ini diperlukan alat-alat
bukti. Alat bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh
pihak-pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim
akan kebenaran tuntutan atau bantahannya[1] Alat bukti ini sangat penting
artinya bagi para pihak yang berperkara merupakan alat atau sarana untuk
meyakinkan kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak tuntutan hak bagi
hakim. Dan bagi hakim, alat bukti tersebut dipergunakan sebagai dasar memutus
perkara.
Suatu perkara di pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim
tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat
tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim
tetapi dengan menolaknya gugatan karena tidak ada bukti.
Dari uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa
tujuan utama dari alat bukti ialah untuk lebih memperjelas dan meyakinkan hukum
sehingga ia tidak keliru dalam menetapkan putusannya dan pihak yang benar tidak
dirugikan sehingga dengan demikian keadilan di muka bumi ini dapat ditegakkan.
Alat bukti sumpah sebagaimana disebutkan dalam Surat
Al-Baqarah:224
Asbaabun nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan
sumpahnya Abu Bakar untuk tidak akan memberi belanja lagi kepada Misthah
(adalah seorang fakir miskin yang hidupnya dibiayai oleh Abu Bakar Shiddiq
r.a.), karena ia ikut serta memfitnah Siti ‘Aisyah. Ayat tersebut sebagai
teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan.
Tafsiran dari ayat ini menjelaskan bahwasanya tidaklah
seseorang itu menggunakan sumpah atas nama Allah untuk menyakinkan orang lain
demi kepentingannya sendiri. karena banyak menyebut nama Allah dalam sumpah
dapat menghalangi seseorang berbuat kebajikan, bertakwa, dan melakukan ishlah
(perbaikan antara manusia). Ini karena penyebutan nama Allah yang bukan pada
tempatnya dapat mengantar seseorang terbiasa dengannya, sehingga dengan
demikian mengantar ia berbuat dosa, bahkan menjadikan orang tidak percaya
kepadanya, sehingga langka-langkahnya untuk melakukan ishlah akan gagal. Ini
karena sumpah adalah alat untuk mengukuhkan ucapan, dalam rangka menyakinkan
orang lain. Jika seseorang terpercaya, ia tidak perlu menguatkan ucapannya
dengan sumpah. Tanpa sumpah pun ia dipercaya. Nah, banyak bersumpah adalah bukti
kekurang percayaan, dan ini pada gilirannya menghasilkan halangan melakukan
kebajikan, takwa, dan ishlah.[4]
Selanjutnya Surat Al-Baqarah:225
> Azbabun nuzul
Menurut keterangan Abu Hurairah dan segolongan salaf
maknanya ialah seseorang yang bersumpah yang menyangka tidak akan
mengerjakannya, rupanya kemudian terjadi tidak sebagaimana yang disangkanya
semula. Ada juga riwayat IbnuAbbas yang mengatakan bahwa sumpah yang sia-sia
itu seumpama seorang yang bersumpah dalam keadaan marah. Abu Hanafiah menerangkan
bahwa dalam hal ini dia tidak wajib membayar kafarat jika dusta itu
disengajanya dan sumpahnya itu termasuk dosa besar, dan jika dalam hal ini dia
terlupa, tidak disengajanya, maka sumpah itu masuk sumpah yang sia-sia dari
(majmu’ tafsir 1: 338)8
Dalam ayat tersebut disebutkan kata Tidak menuntut, yakni
tidak menuntut pertanggungjawaban, yang pada gilirannya mengakibatkan sanksi,
siksa, atau kewajiban memenuhinya. Sumpah adalah suatu ucapan yang disertai
dengan penyebutan nama Allah, sifat atau perbuatannya, dengan tujuan
menyakinkan pihak lain tentang kebenaran ucapan yang bersumpah. Di celah ucapan
itu terdapat semacam pernyataan yang tidak terucapkan, bahwa jika apa yang
hendak diyakinkan itu, bertentangan dengan isi pengucap, maka ia bersedia dijatuhi
kutukan dan sanksi Allah swt. Dari sini sumpah harus menggunakan nama Allah,
sifat atau perbuatan-Nya, dan tidak dibenarkan menggunakan selain itu, karena
hanya Allah swt. Yang mampu menjatuhkan sanksi atau kutukan. Biasanya sumpah
yang dilakukan untuk menyakinkan orang lain disertai jabatan tangan antar
keduanya. Dari sini sumpah dinamai yamiin, yang secara harfiah antara lain
bermakna tangan kanan, jamaknya adalah aimaan.
Kata dengan redaksi sumpah tetapi tidak bermaksud untuk
bersumpah aleh ayat diatas diistilahkan dengan al-laghwu, yang dari segi bahasa
berarti sesuatu yang batal, atau dianggap tidak ada. Sesuatu yang demikian,
biasanya lahir dari spontanitas, tanpa piker dan pertimbangan. Termasuk dugaan
yang keliru.
Walaupun Allah tidak menuntut pertanggungjawaban dalam
sumpah yang demikian sifatnya, namun penamaannya dengan al-laghwu member
isyarat bahwa menyebut nama Allah tanpa berfikir, tanpa pertimbangan, apalagi
yang memberi kesan menyakinkan orang lain, bukankah pada tempatnya dan tidak wajar.
Bukankah pada ayat yang lalu telah dikemukakan tuntunan agar jangan
sering-sering menyebut nama Allah yang bukan pada tempatnya.
Sumpah yang akan dituntut oleh Allah untuk
mempertanggungjawabkan adalah yang dilakukan oleh hati kamu, yakni sumpah
dengan menggunakan nama Allah secara sengaja lagi bertujuan menyakinkan pihak
kalin. Pertanggungjawaban yang dituntut-Nya itu dapat berbentuk kewajiban memenuhinya,
atau bila tidak memenuhinya, maka kewajiban membayar kaffarat, yakni imbalan
tertentu berupa puasa atau member makan fakir miskin. Kalau tidak, maka yang
bersangkutan terancam dijatuhi hukuman di hari Kemudian.
Tafsir surat Al-Baqarah ayat 282Kata (تداينتم) tadayantum, diterjemahkan dengan arti
bermuamalah terampil dari kata (دين)
dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun
oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’ dan nun) selalu menggambarkan
hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak
yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, kataan, dan agama.
Kesemunya mengambarkan hubungan timbal-balik itu, atau dengan kata lain
bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang dimaksud adalah
muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.10
Setelah menjelaskan tentang hutang piutang atau muamalah
sekarang menyangkut persaksian baik dalam tulis menulis maupun lainnya. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki diantara kamu. Kata
saksi yang digunakan dalam ayat ini (شهد
ين) bukan (شاهدين) ini berarti bahwa saksi
yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta dikenal kejujurannya: sebagai
saksi tang telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut banyak ulama
menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-ayat ”kalau bukan dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua oarang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Yang dinamai saksi
adalah orang yang berpotensi menjadi saksi walaupun ketika itu dia belum
melaksanakan kesaksian dan dapat juga secara aktual menjadi saksi. Salah satu
bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya
kesempatan memperoleh rezeki karena itu tidak salahnya memberikan mereka ganti
biaya trasportasi dan biaya administrasi sebagai imbalan jerih payah dan
pengunaan waktu mereka. Para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan
yang bermuamalah dalam memperlambat kesaksian, apabila menyembunyikannya atau
melakukan penilisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka jika kamu wahai
para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah maka sesungguhnya hal
ituadalah suatu kefasikan pada dirimu.11
> Azbabun nuzul
Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama
sbagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat Nabi ketika itu
demikian juga yang terbaca pada ayat berikut, memang sungguh sulit. Perintah
itu diterapkan oleh kaum muslim ketika turunya ayat ini. Jika perintah menulis
hutang piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat
langka. Namun ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis karena
dalam hidup ini stiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminja, ini
diisyaratkan oleh penggunaan kata idza apabila pada awal pengalan ayat ini yang
lazim digunakan untuk menunjukkan kepastin akan terjadinya sesuatu.12
Dalam pandangan mazhab Maliki, kesaksian wanita dibenarkan
dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal,
pernikahan, perceraian dan rujuk. Mazhab Hanafi lebuih luas dan lebih sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita, mereka membenarkan kesaksian
wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga kecuali
dalam soal kriminal.13
D. Al-Baqarah ayat 283
”Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendakalah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dicapai itu bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”14
> Tafsir surat Al-Baqarah ayat 283
Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang
diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kapanya itu
akan akan dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang
menyerahkanmemintanya kembali, maka ia akan menerima utuh sebagaimana adanya
tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar
kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana
adanya, dan kelak si pemberi/penitip tidak akan meminta melebihi apa yang
diberikan atau disepakati kedua pihak.15
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah
kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan
persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama
sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya.
An-Nisa’ ayat 135
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”17
> Tafsir surat An-Nisa’ ayat 135
Firman (كونواقوامين
بالقسط) kunu qawwamina
bil qisth/ jadilah penegak-penegak keadilan, merupakan redaksi yang sangat
kuat. Perintah berlaku adil dapat dikemukakan dengan menyatakan (إعدلوا) i’dilu/berlaku adillah.
Lebih tegas dari ini adalah (كونوامقسطين)
kunu musqsithin/jadilah orang-orang adil, dan lebih tegas dari ini adalah (كونواقا ئمين با
لقسط) kunu qa’imina bil
qisth/jadilah penegak-penegak keadilan, dan puncaknya adalah redaksi ayat di
atas; kunu qawwamina bil qisth/jadilah penegak jadilah penegak-penegak keadilan
yang sempurna lagi sebenar-benarnya.yakni hendaklah secara sempurna dan penuh
perhatian kamu jadikan penegak keadilan menjadi sifat yang melekat pada diri
kamu dan kamu laksanakan dengan penuh ketelitian.
Firman (شهداءالله)
syuhada’a lillah/menjadi saksi-saksi karena Allah mengisyaratkan juga bahwa
persaksian yang ditunaikan itu, hendaknya demi karena Allah, bukan untuk
tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi. Kata (خبير) khabir, digunakan untuk
siapa yang mendalami suatu masalah.18
> Azbabun nuzul
Ibnu Jarir Ath-Thabari mengemukakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan kasus yang dialami Nabi saw. ketika dua orang satu kaya dan
yang lainya miskin di mana hati Nabi saw. cenderung membela si miskin karena
iba kepadanya akibat kemiskinannya. Allah meluruskan kecenderungan tersebut
melalui ayat ini. Firman-Nya (فلاتنبعواالهوى
أن تعدلوا) fala tattabi’ul hawa an
ta’dilu yang diterjemahkan di atas dengan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran, dapat juga berarti jaganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena karena enggan berlaku adil.
Sumber Pembahasan Makalah Teman yang berada di UIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar