Kamis, 12 April 2012

Pengertian Alat Bukti dalam Hukum Islam



Pengertian Alat Bukti
 

Setiap tuntutan hak atau menolak tuntutan hak harus dibuktikan di muka sidang pengadilan. Dalam pembuktian ini diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran tuntutan atau bantahannya[1] Alat bukti ini sangat penting artinya bagi para pihak yang berperkara merupakan alat atau sarana untuk meyakinkan kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak tuntutan hak bagi hakim. Dan bagi hakim, alat bukti tersebut dipergunakan sebagai dasar memutus perkara.

Suatu perkara di pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolaknya gugatan karena tidak ada bukti.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan utama dari alat bukti ialah untuk lebih memperjelas dan meyakinkan hukum sehingga ia tidak keliru dalam menetapkan putusannya dan pihak yang benar tidak dirugikan sehingga dengan demikian keadilan di muka bumi ini dapat ditegakkan.

Alat bukti sumpah sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah:224

Asbaabun nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan sumpahnya Abu Bakar untuk tidak akan memberi belanja lagi kepada Misthah (adalah seorang fakir miskin yang hidupnya dibiayai oleh Abu Bakar Shiddiq r.a.), karena ia ikut serta memfitnah Siti ‘Aisyah. Ayat tersebut sebagai teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan.

Tafsiran dari ayat ini menjelaskan bahwasanya tidaklah seseorang itu menggunakan sumpah atas nama Allah untuk menyakinkan orang lain demi kepentingannya sendiri. karena banyak menyebut nama Allah dalam sumpah dapat menghalangi seseorang berbuat kebajikan, bertakwa, dan melakukan ishlah (perbaikan antara manusia). Ini karena penyebutan nama Allah yang bukan pada tempatnya dapat mengantar seseorang terbiasa dengannya, sehingga dengan demikian mengantar ia berbuat dosa, bahkan menjadikan orang tidak percaya kepadanya, sehingga langka-langkahnya untuk melakukan ishlah akan gagal. Ini karena sumpah adalah alat untuk mengukuhkan ucapan, dalam rangka menyakinkan orang lain. Jika seseorang terpercaya, ia tidak perlu menguatkan ucapannya dengan sumpah. Tanpa sumpah pun ia dipercaya. Nah, banyak bersumpah adalah bukti kekurang percayaan, dan ini pada gilirannya menghasilkan halangan melakukan kebajikan, takwa, dan ishlah.[4]

Selanjutnya Surat Al-Baqarah:225

> Azbabun nuzul
Menurut keterangan Abu Hurairah dan segolongan salaf maknanya ialah seseorang yang bersumpah yang menyangka tidak akan mengerjakannya, rupanya kemudian terjadi tidak sebagaimana yang disangkanya semula. Ada juga riwayat IbnuAbbas yang mengatakan bahwa sumpah yang sia-sia itu seumpama seorang yang bersumpah dalam keadaan marah. Abu Hanafiah menerangkan bahwa dalam hal ini dia tidak wajib membayar kafarat jika dusta itu disengajanya dan sumpahnya itu termasuk dosa besar, dan jika dalam hal ini dia terlupa, tidak disengajanya, maka sumpah itu masuk sumpah yang sia-sia dari (majmu’ tafsir 1: 338)8

Dalam ayat tersebut disebutkan kata Tidak menuntut, yakni tidak menuntut pertanggungjawaban, yang pada gilirannya mengakibatkan sanksi, siksa, atau kewajiban memenuhinya. Sumpah adalah suatu ucapan yang disertai dengan penyebutan nama Allah, sifat atau perbuatannya, dengan tujuan menyakinkan pihak lain tentang kebenaran ucapan yang bersumpah. Di celah ucapan itu terdapat semacam pernyataan yang tidak terucapkan, bahwa jika apa yang hendak diyakinkan itu, bertentangan dengan isi pengucap, maka ia bersedia dijatuhi kutukan dan sanksi Allah swt. Dari sini sumpah harus menggunakan nama Allah, sifat atau perbuatan-Nya, dan tidak dibenarkan menggunakan selain itu, karena hanya Allah swt. Yang mampu menjatuhkan sanksi atau kutukan. Biasanya sumpah yang dilakukan untuk menyakinkan orang lain disertai jabatan tangan antar keduanya. Dari sini sumpah dinamai yamiin, yang secara harfiah antara lain bermakna tangan kanan, jamaknya adalah aimaan.

Kata dengan redaksi sumpah tetapi tidak bermaksud untuk bersumpah aleh ayat diatas diistilahkan dengan al-laghwu, yang dari segi bahasa berarti sesuatu yang batal, atau dianggap tidak ada. Sesuatu yang demikian, biasanya lahir dari spontanitas, tanpa piker dan pertimbangan. Termasuk dugaan yang keliru.

Walaupun Allah tidak menuntut pertanggungjawaban dalam sumpah yang demikian sifatnya, namun penamaannya dengan al-laghwu member isyarat bahwa menyebut nama Allah tanpa berfikir, tanpa pertimbangan, apalagi yang memberi kesan menyakinkan orang lain, bukankah pada tempatnya dan tidak wajar. Bukankah pada ayat yang lalu telah dikemukakan tuntunan agar jangan sering-sering menyebut nama Allah yang bukan pada tempatnya.

Sumpah yang akan dituntut oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan adalah yang dilakukan oleh hati kamu, yakni sumpah dengan menggunakan nama Allah secara sengaja lagi bertujuan menyakinkan pihak kalin. Pertanggungjawaban yang dituntut-Nya itu dapat berbentuk kewajiban memenuhinya, atau bila tidak memenuhinya, maka kewajiban membayar kaffarat, yakni imbalan tertentu berupa puasa atau member makan fakir miskin. Kalau tidak, maka yang bersangkutan terancam dijatuhi hukuman di hari Kemudian.







Tafsir surat Al-Baqarah ayat 282Kata (تداينتم) tadayantum, diterjemahkan dengan arti bermuamalah terampil dari kata (دين) dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’ dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, kataan, dan agama. Kesemunya mengambarkan hubungan timbal-balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.10
Setelah menjelaskan tentang hutang piutang atau muamalah sekarang menyangkut persaksian baik dalam tulis menulis maupun lainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki diantara kamu. Kata saksi yang digunakan dalam ayat ini (شهد ين) bukan (شاهدين) ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta dikenal kejujurannya: sebagai saksi tang telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-ayat ”kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua oarang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian dan dapat juga secara aktual menjadi saksi. Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki karena itu tidak salahnya memberikan mereka ganti biaya trasportasi dan biaya administrasi sebagai imbalan jerih payah dan pengunaan waktu mereka. Para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dalam memperlambat kesaksian, apabila menyembunyikannya atau melakukan penilisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka jika kamu wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah maka sesungguhnya hal ituadalah suatu kefasikan pada dirimu.11
> Azbabun nuzul
Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sbagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat Nabi ketika itu demikian juga yang terbaca pada ayat berikut, memang sungguh sulit. Perintah itu diterapkan oleh kaum muslim ketika turunya ayat ini. Jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis karena dalam hidup ini stiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminja, ini diisyaratkan oleh penggunaan kata idza apabila pada awal pengalan ayat ini yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastin akan terjadinya sesuatu.12
Dalam pandangan mazhab Maliki, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, perceraian dan rujuk. Mazhab Hanafi lebuih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita, mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga kecuali dalam soal kriminal.13
D. Al-Baqarah ayat 283
”Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendakalah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dicapai itu bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”14
> Tafsir surat Al-Baqarah ayat 283

Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kapanya itu akan akan dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkanmemintanya kembali, maka ia akan menerima utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi/penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak.15
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
An-Nisa’ ayat 135
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”17

> Tafsir surat An-Nisa’ ayat 135
Firman (كونواقوامين بالقسط) kunu qawwamina bil qisth/ jadilah penegak-penegak keadilan, merupakan redaksi yang sangat kuat. Perintah berlaku adil dapat dikemukakan dengan menyatakan (إعدلوا) i’dilu/berlaku adillah. Lebih tegas dari ini adalah (كونوامقسطين) kunu musqsithin/jadilah orang-orang adil, dan lebih tegas dari ini adalah (كونواقا ئمين با لقسط) kunu qa’imina bil qisth/jadilah penegak-penegak keadilan, dan puncaknya adalah redaksi ayat di atas; kunu qawwamina bil qisth/jadilah penegak jadilah penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya.yakni hendaklah secara sempurna dan penuh perhatian kamu jadikan penegak keadilan menjadi sifat yang melekat pada diri kamu dan kamu laksanakan dengan penuh ketelitian.
Firman (شهداءالله) syuhada’a lillah/menjadi saksi-saksi karena Allah mengisyaratkan juga bahwa persaksian yang ditunaikan itu, hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi. Kata (خبير) khabir, digunakan untuk siapa yang mendalami suatu masalah.18
> Azbabun nuzul
Ibnu Jarir Ath-Thabari mengemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang dialami Nabi saw. ketika dua orang satu kaya dan yang lainya miskin di mana hati Nabi saw. cenderung membela si miskin karena iba kepadanya akibat kemiskinannya. Allah meluruskan kecenderungan tersebut melalui ayat ini. Firman-Nya (فلاتنبعواالهوى أن تعدلوا) fala tattabi’ul hawa an ta’dilu yang diterjemahkan di atas dengan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dapat juga berarti jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena karena enggan berlaku adil.


Sumber Pembahasan Makalah Teman yang berada di UIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar