Kamis, 12 April 2012

Arti dan Ruang Lingkup Ijtihad data


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asal kata ijtihad yaitu bersungguh-sungguh, rajin, giat. Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapat sesuatu. Pengertian ijtihad secara istilah adalah menentukan keputusan, memeras pikiran.  Pengertian ijtihad adalah sebuah usaha dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan hukum suatu masalah atau perkara yang belum ada dasar hukumnya atau yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan akal sehat serta pertimbangan yang matang. Apa tujuan ijtihad? Tujuan ijtihad yaitu agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan as Sunah yang merupakan sumber pokok  hukum islam.
Ijtihad sebaiknya dilakukan oleh orang yang mengerti serta paham akan al-Qur’an dan hadits, hal ini dilakukan agar yang dihasilkan adalah sesuatun yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an juga hadits.







BAB II
Ijtihad telah dilakukan sepeninggalan Rasulullah SAW

Ijtihad telah dilakukan para sahabat sepeninggalannya Rasulullah SAW dan diikuti oleh para ulama hingga saat ini. Sebagai contoh Abu Bakar as Siddiq, beliau apabila menemui perselisihan maka hal pertama yang dilakukan adalah merujuk pada al-Qur’an.
Jika tidak ditemukan maka beliau merujuk pada hadits Nabi, namun bila tidak ditemukan atau ragu dengan hukum yang didapat maka beliau mengumpulkan para sahabat untuk melakukan musyawarah.
Bila musyawarah telah dicapai mufakat beliau pun sapakat dengan pendapat yang dihasilkan dan memutuskan hukum sesuatu yang dipermasalahkan serta mengikutinya. Orang-orang yang berijtihad ini disebut Mujtahid.  

Contoh ijtihad
Salah satu contoh ijtihad yang sering dilakukan untuk saat ini adalah penentuan tanggal satu syawal disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argument masing-masing untuk menentukan satu syawal, juga penentuan awal ramadhan. Masing-masing ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu kesepakatan ditentukanlah tanggal satu syawal atau tanggal satu ramadhan itu.
Contoh lain adalah tentang bayi tabung. Akhir-akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki masalah dengan kesuburuan, jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk pada hadits-hadits agar dapat menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi ini dan menurut MUI menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum suami istri yang sah hukumnya mubah (boleh), karena hal ini merupakan ikhtiyar yang berdasarkan agama. Allah sendiri mengajarkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdo’a.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari suami istri yang menitipkan pada wanita lain , jika ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari soal warisan.
Dalam Islam anak yang berhak mendapat warisan adalah anak kandung, jika demikian bagaimana status hubungan anak dari hasil penitipan tersebut? Dikandung tspi bukan milik sendiri , jadi hanya sekedar pinjam tempatnya saja, tentu hal ini membuat rumit.
Macam-macam ijtihad
1.      Ijma’
2.      Qiyas
3.      Istihsan
4.      Maslahah mursalah
5.      ‘urf
6.      Istishab.

Tingkatatan ijtihad
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma- norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatanini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.


2. Ijtihad Muntasib,
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah- kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy.
Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya
Disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu’/fiqih yang telah dihasilkan imamnya.
Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi’i.

4. Ijtihad di bidang tarjih,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi’i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.

Mujtahid dan Syarat-syarat mujtahid
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Setiap orang yang berijtihad, jika benar ia akan mendapat dua pahala, jika salah ia akan mendapat satu pahala. Berbicara tentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid, demikian pula sebaliknya yaitu berbicara tentang syarat-syarat orang berijtihad tidak lain berbicara tentang syarat-syarat ijtihad.
Imam Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa (II/102) menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat:
1.         Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ mampu melihat yang dhonniy di dalam hal-hal yang syara’ mendahulukan apa yang wajib didahulukan dan membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.
2.         Ia hendaknya seorang yang adil, menjauhi segala maksiyat yang membuat cemarkan sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini penting karena syarat ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang tidak mempunyai sifat ‘adalah yang demikian, fatwanya tidak boleh menjadi pegangan. Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri artinya fatwa atau ijtihad itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil tidaklah menjadi halangan. Artinya di dalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja berijtihad untuk dirinya sendiri dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.
asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot IVV/1085-106 menyatakan seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila ia memiliki dua sifat:
1.         Mengerti dan faham akan tujuan-tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sesempurnanya, secara keseluruhannya.
2.         Mampu melakukan istinbath berdasarkan faham dan pengertian tujuan-tujuan syari’at tersebut.


Al-Amdi dan al-Baidhowi mengemukakan syarat mujtahid (al-Ahkam fi Ushulil Ahkam) adalah:
1.         Dia seorang mukallaf, yaitu seorang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.         Seorang yang ‘alim (aliman) dan arif (arifan) terhadap keseluruhan hukum-hukum syari’at dan macam-macamnya serta jalan-jalan penetapannya. Dan macam-macam dalil di atas dalilnya.
Tetapi yang akan memungkinkan seseorang melakukan/ ijtihad apabila ia memnuhi syarat-syarat sebagai berikut (al-Amidi IV/141):
1.         Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, sifat-sifat yang wajib ada sifat-sifat sempurna apa yang semestinya ada pada Tuhan, ia wajib adanya karena dzatNya, Hidup, berkuasa berkehendak, berbicara (mutakalim).
Ia pun wajib mengetahui /percaya adanya Rasul dan apa yang dibawa olehnya, juga percaya akan mu’jizat-mu’jizatnya ayat-ayatnya yang nyata sehingga pendapat-pendapat dan hukum yang ia sandarkan kepadanya itu memang nyata dan benar. Akan tetapi sekalipun demikian tidak disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam sampai sedetail-detailnya juga tidak perlu ia harus mahir di dalam ilmu itu, dan tidak pula di dalam ilmu kalam. Cukuplah baginya asal ia tahu apakah yang dinamakan imam itu dan tidak pula di dalam ilmu kalam itu ia mesti mengetahui dalilnya secara terperinci daripadaNya. Sebaliknya cukuplah ia itu mengetahui dalil-dalil perkara-perkara dengan global saja. Tidak usah sampai mendetail terperinci.
2.         Hendaknya ia seorang yang pandai (‘alim) bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari’at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalililnya, perbedaan-perbedaan tingkatan-tingkatannya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan hendaknya iapun tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi didalamnya dan tahu pula cara menumbuhkan/ menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan di dalamnya.
                                                           



Sumber malakah teman dari UIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar