PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asal kata ijtihad yaitu
bersungguh-sungguh, rajin, giat. Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan
segenap kemampuan untuk mendapat sesuatu. Pengertian ijtihad secara istilah
adalah menentukan keputusan, memeras pikiran.
Pengertian ijtihad adalah sebuah usaha dengan sungguh-sungguh untuk
memutuskan hukum suatu masalah atau perkara yang belum ada dasar hukumnya atau
yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan akal sehat
serta pertimbangan yang matang. Apa tujuan ijtihad? Tujuan ijtihad yaitu agar
dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan as
Sunah yang merupakan sumber pokok hukum
islam.
Ijtihad sebaiknya dilakukan oleh orang
yang mengerti serta paham akan al-Qur’an dan hadits, hal ini dilakukan agar
yang dihasilkan adalah sesuatun yang baik yang tidak bertentangan dengan
al-Qur’an juga hadits.
BAB II
Ijtihad telah dilakukan sepeninggalan Rasulullah SAW
Ijtihad telah dilakukan para sahabat
sepeninggalannya Rasulullah SAW dan diikuti oleh para ulama hingga saat ini.
Sebagai contoh Abu Bakar as Siddiq, beliau apabila menemui perselisihan maka
hal pertama yang dilakukan adalah merujuk pada al-Qur’an.
Jika tidak ditemukan maka beliau
merujuk pada hadits Nabi, namun bila tidak ditemukan atau ragu dengan hukum
yang didapat maka beliau mengumpulkan para sahabat untuk melakukan musyawarah.
Bila musyawarah telah dicapai mufakat
beliau pun sapakat dengan pendapat yang dihasilkan dan memutuskan hukum sesuatu
yang dipermasalahkan serta mengikutinya. Orang-orang yang berijtihad ini
disebut Mujtahid.
Contoh ijtihad
Salah satu contoh ijtihad yang sering
dilakukan untuk saat ini adalah penentuan tanggal satu syawal disini para ulama
berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argument masing-masing untuk menentukan
satu syawal, juga penentuan awal ramadhan. Masing-masing ulama memiliki dasar
hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu kesepakatan
ditentukanlah tanggal satu syawal atau tanggal satu ramadhan itu.
Contoh lain adalah tentang bayi
tabung. Akhir-akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki
masalah dengan kesuburuan, jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi
pemecahan masalah agar dapat memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk pada
hadits-hadits agar dapat menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi
ini dan menurut MUI menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum suami
istri yang sah hukumnya mubah (boleh), karena hal ini merupakan ikhtiyar yang
berdasarkan agama. Allah sendiri mengajarkan kepada manusia untuk selalu
berusaha dan berdo’a.
Sedangkan para ulama melarang
penggunaan teknologi bayi tabung dari suami istri yang menitipkan pada wanita
lain , jika ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya
karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari soal warisan.
Dalam Islam anak yang berhak mendapat
warisan adalah anak kandung, jika demikian bagaimana status hubungan anak dari
hasil penitipan tersebut? Dikandung tspi bukan milik sendiri , jadi hanya
sekedar pinjam tempatnya saja, tentu hal ini membuat rumit.
Macam-macam ijtihad
1. Ijma’
2. Qiyas
3. Istihsan
4. Maslahah mursalah
5. ‘urf
6. Istishab.
Tingkatatan ijtihad
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan
cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan
sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma- norma
dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari
tingkatanini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib,
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah- kaidah istinbath imamnya
(mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka
memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan
kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan
Buwaithy.
Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad
bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk
kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang
pelakunya
Disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu
ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada
prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu’/fiqih yang telah dihasilkan imamnya.
Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat
imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang
shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari
madzhab Syafi’i.
4. Ijtihad di bidang tarjih,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan
cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan
madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana
diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi’i, hal itu
bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Sebagian ulama mengatakan
bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya;
sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya
satu tingkatan.
Mujtahid dan Syarat-syarat mujtahid
Mujtahid ialah orang yang berijtihad.
Setiap orang yang berijtihad, jika benar ia akan mendapat dua pahala, jika
salah ia akan mendapat satu pahala. Berbicara tentang syarat-syarat ijtihad
tidak lain dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid, demikian pula
sebaliknya yaitu berbicara tentang syarat-syarat orang berijtihad tidak lain
berbicara tentang syarat-syarat ijtihad.
Imam Ghazali dalam kitabnya
al-Mustashfa (II/102) menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat:
1. Mengetahui
dan menguasai ilmu syara’ mampu melihat yang dhonniy di dalam hal-hal yang
syara’ mendahulukan apa yang wajib didahulukan dan membelakangkan apa yang
mesti dikemudiankan.
2. Ia
hendaknya seorang yang adil, menjauhi segala maksiyat yang membuat cemarkan
sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini penting karena syarat ini menjadi
landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang tidak
mempunyai sifat ‘adalah yang demikian, fatwanya tidak boleh menjadi pegangan.
Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri artinya fatwa atau ijtihad
itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil tidaklah menjadi halangan. Artinya
di dalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja berijtihad untuk dirinya sendiri
dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.
asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot
IVV/1085-106 menyatakan seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila ia
memiliki dua sifat:
1. Mengerti
dan faham akan tujuan-tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sesempurnanya, secara
keseluruhannya.
2. Mampu
melakukan istinbath berdasarkan faham dan pengertian tujuan-tujuan syari’at
tersebut.
Al-Amdi dan al-Baidhowi mengemukakan
syarat mujtahid (al-Ahkam fi Ushulil Ahkam) adalah:
1. Dia
seorang mukallaf, yaitu seorang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Seorang
yang ‘alim (aliman) dan arif (arifan) terhadap keseluruhan hukum-hukum syari’at
dan macam-macamnya serta jalan-jalan penetapannya. Dan macam-macam dalil di
atas dalilnya.
Tetapi yang akan memungkinkan
seseorang melakukan/ ijtihad apabila ia memnuhi syarat-syarat sebagai berikut
(al-Amidi IV/141):
1. Mengetahui
apa yang ada pada Tuhan, sifat-sifat yang wajib ada sifat-sifat sempurna apa
yang semestinya ada pada Tuhan, ia wajib adanya karena dzatNya, Hidup, berkuasa
berkehendak, berbicara (mutakalim).
Ia pun wajib mengetahui /percaya
adanya Rasul dan apa yang dibawa olehnya, juga percaya akan
mu’jizat-mu’jizatnya ayat-ayatnya yang nyata sehingga pendapat-pendapat dan
hukum yang ia sandarkan kepadanya itu memang nyata dan benar. Akan tetapi
sekalipun demikian tidak disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam sampai
sedetail-detailnya juga tidak perlu ia harus mahir di dalam ilmu itu, dan tidak
pula di dalam ilmu kalam. Cukuplah baginya asal ia tahu apakah yang dinamakan
imam itu dan tidak pula di dalam ilmu kalam itu ia mesti mengetahui dalilnya
secara terperinci daripadaNya. Sebaliknya cukuplah ia itu mengetahui
dalil-dalil perkara-perkara dengan global saja. Tidak usah sampai mendetail
terperinci.
2. Hendaknya
ia seorang yang pandai (‘alim) bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum
syari’at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil
atas yang didalililnya, perbedaan-perbedaan tingkatan-tingkatannya,
syarat-syarat yang tepat untuk itu dan hendaknya iapun tahu arah pentarjihannya
ketika terdapat kontradiksi didalamnya dan tahu pula cara menumbuhkan/
menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula
memisahkan keberatan-keberatan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar