I. PENDAHULUAN
Di dalam makalah ini pada dasarnya penulis membagi
penyajiannya menjadi dua bagian . bagian pertama mengutarakan pandangan penulia
mengenai Ekonomi Pancasila dan bagian
kedua berisi pandangan mengenai perkoperasian
dalam rangka Ekonomi Pancasila itu.
Focus utama pada bagian pertama adalah mengenai orientasi dari pada Ekonomi Pancasila.
Sedangkan pada bagian kedua yang
diutamakan adalah penyajian mengenai aiasan pembenaran (justification dan merits)
soko-guruan koperasi itu sendiri, yang tidak semata-mata
berdasarkan pada alas an normative /
legal saja. Dalam bagian kedua ini juga diutarakan masalah-masalah pra-kondisi kesoko-guruan dan pembinaan koperasi.
II. Perekonomian Indonesia Disusun Berdasarkan Pancasila
Perekonomian Indonesia disusun berdasarkan filsafat dan
ideology Negara, yaitu Pancasila. Perekonomian yang disusun berdasarkan Pancasila adalah Ekonomi Pancasila. Kalimat
pertama pada satu pasal utama mengenai ekonomi pada UUD 1945 mengatakan;
“Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun mengisyaratkan adanya tindakan aktif, yaitu menyusun
melalui rencana.
Secara ideologis-normatif
sumber daripada dasar penjabaran Ekonomi Pancasila adalah Pancasila sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta
khususnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945. Selanjutnya pasal-pasal 23, 27 ayat (2), dan 34 Undang-Undang
Dasar 1945 memberikan isi dan dimensi lebih lanjut pada Ekonomi Pancasila itu.
Sesuai dengan Sila-sila daripada Pancasila dan isi
pasal-pasal didalam maupun diluar BAB Kesejahteraan
Sosial yang berkaitan dengan
kehidupan perekonomian. Maka secara garis besar Ekonomi Pancasila adalah
ekonomi yang berorientasi pada sila-sila daripada Pancasila, yaitu berorientasi
pada : Ketuhaan Yang Maha Esa (adanya
etik moral agama, bukan materialism); kemanusiaan
yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan/eksploitasi, modernisasi); persatuan (kekeluargaan, kebersamaan,
gotong-royong , tidak saling mematikan, bantu-membantu antara yang kuat
dan yang lemah, nasionalisme dan
patriotisame ekonomi); kerakyatan (demokrasi
ekonomi,mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta keadilan social (persamaan, kemakmuran
masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang).
Dalam memberi tekanan utama pada keadailan/pemerataan, tidak
berarti pertumbuhan diabaikan. Mengutamakan aspek keadilan/pemerataan, tidak
harus bersikap anti pertumbuhan. Pertumbuhan adalah syarat yang harus dipenuhi
untuk memberi isi dan makna pada pemerataan.
Dalam Ekonomi Pancasila, keadilan social adalah sekaligus titik-tolak, mekanisme pengontrol, dan tujuan Pembangunan Nasional. Hal ini berlaku, baik
cara memperbesar maupun cara membagi serta cara menyebarkan asset dan kue nasional.
Jika dalam tiga Pelita yang lalu dirasakan
pandangan demikian belum dilaksanaklan, hal ini harus diartikan sebagai
berlakunya kebijaksanaan darurat,
suatu kebijaksanaan berdasarkan prakmatisme.
Dengan usaha pembangunan nasional maka kadar Ekonomi Pancasila akan kian
memperoleh isi dan makna.
1. Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Dasar Penjabaran
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah pedoman utama bagi
orientasi dan penjabaran penyusunan (perencanaan membangun) perekonomian Indonesia.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 haruslah lebih
jauh daripada sekedar diakui adanya tiga bentuk kegiatan atau bangun
perusahaan, yaitu perusahaan Negara, perusahaan swasta dan koperasi. Dengan
adanya tiga bentuk perusahaan itu tidak berarti perekonomian telah sesuai
dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Di pihak lain, adalah kurang benar pula mengertikan bahwa
satu-satunya bentuk perusahaan yang diperkenalkan oleh pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 hanyalah koperasi. Namun adalah benar bahwa satu bentuk perusahaan
berasas kekeluargaan dan sekaligus merupakan usaha bersama adalah koperasi.
Ayat (1) pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dipisahkan pengaruhnya terhadap
ayat(2) dan ayat(3); ayat (1) pasal ini tetap melandasi, mewarnai dan menjiwai
bentuk-bentuk usaha lain yang ada, yang hakekat dan peranannya sesuai dengan petunjuk-petunjuk
ayat (2) dan ayat (3). Artinya di dalam kegiatan usaha swasta, apakah itu
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau lainya, apakah itu asing, domestic
perbumi maupun domestic non-peribumi, harus dihidupkan puka semangat keusaha-bersama dan berasaskan
kekeluargaan.
Usaha berasama atas
dasar asas kekeluargaan ialah koperasi. Kopereasi memang tidak disebutkan di
dalam pasal33 Undang-Undang Dasar 1945
tetapi di dalam Penjelasan disebutkan bahwa “bangunan perusahaan yang
sesuai dengan ini ialah koperasi”. Penjelasan ini yang pada jaman MPRS pernah
diusulkan agar dirubah. Namun usaha ini ditolak. Penjelasan semacam itu memang
harus dipertahankan. Sebagai “das Sollen”
harus tetapi demikian, agar semangat keusaha-bersamaan dan hakikat usaha
dengan asas kekeluargaan tidak gampang munudar sebagai cita-cita dan bahkan
harus menjadi alat pengikat cita-cita sosialisme yang kita kehendaki.
Pada masa-masa lampau perkataan koperasi sebagai soko-guru (tulang punggung) perekonomian
bangasa sering terdengar, terlepas dari berbagai kegagalan yang ada dalam
pertumbuhanya. Perkataan soko-guru atau tulang punggung ini hampir tidak
terdengar lagi, di dalam GBHN 1978 dan 1983 perkataan soko-guru atau tulang
punggung khusus bagi koperasi tidak ada.
Dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang sosialistis kita
temukan semangat kolektivisme atau dasar koperasi
social. Di atas koperasi social yang lama dibentuk menjadi bangun yang
tidak kenal sekarang: koperasi. Akar
pandangan hidup kekolektivan (perkauman) inilah yang memperkuat sifat koperasi
sebagai soko-guru perekonomian bangsa.
2. Semangat
Kebersamaan
Bagaimana semangat kebersamaan dapat dijelmakan dalam kenyataan diluar bangun
koperasi? Di dalam bangaun usaha, misalnya saja Perseroan Terbatas (PT). PT
jelas adalah kumpulan modal, dan bukan kumpulan orang. Kebersamaan tidak saja
dalam bentuk gotong-royong, sama-sama bertanggung jawab, atau “melu handarbeni”, tetapi juga dalam bentuk ikut memiliki modal
bersama.
Unsur keusaha-bersamaan perlu dihidupkan pula pada PT,
sehingga dapat tertahan dan terkendali sifat kapitalisme yang muncul dari
dalamnya. Dengan semangat keusaha-bersamaan ini buruh-buruh dan
karyawan-karyawannya harus dapat ikut memiliki saham perusahaan. Dengan
denikian modal PT ini merupakan modal bersama, betapapun mungkin masih akan
pincang komposisinya pada tahap-tahap tertentu. System pengupahan dan
penggajian perlu diatur sehingga sebagai upah dan gaji dapat diarahkan kepada
pemilikan saham oleh buruh dan karyawan. Uang lembur, hadiah lebaran, THR,
kenaikan upah dan gaji serta lain-lain insentif bahkan tanda jasa untuk buruh
dan karyawan, dapat dibayarkan dalam
saham atau pecahan-pecahan. System pemberian kesempatan ikut memiliki saham
oleh buruh dan karyawan dapat sekaligus bersifat mendidik mereka tidak boros,
tidak konsumtif dan maupun memahami arti menabung. Dalam kenyataan baru
beberapa perusahaan yang mulai “merintis” semangat kebersamaan ini. Ini pun
masih semu kiranya
Di samping itu perlu dirintis pemberian saham untuk buruh
dan karyawan yang diatur melalui system “equity
loan” dari atau atas jaminan
perusahaan.
3. Asas Kekeluargaan
Bagaimana asas kekeluargaan dapat mewarnai dan
dijelmakan di dalam kehidupan usaha di luar bangun koperasi? Bagaimana misalnya
di dalam PT asas ini harus diterapkan?
Di dalam bangun usaha
non-koperasi lain misalnya PT perlu ditumbuhkan koperasi oleh para buruh,
karyawan dan majikan, sehingga terciptalah asas kekeluargaan di dalam suatu
bangunan kapitalistik ini. Hubungan antara buruh, karyawan dan majikan sebagai
anggota koperasi satu sama lain dapat lebih nyata terjalin sebagai hubungan
orang-perorang. Hubungan antar mereka sebagai anggota kopereasi satu sama lain
mencerminkan orng-orang bersaudara, bukan hubungan antar alat-alat atau
factor-faktor produksi. Buruh dan karyawan bukan factor produksi tetapi adalah partner berproduksi. Mereka adalah “partner in progress”. Dewasa ini
semangat kekeluargaan masih merupakan perjuangan daripada kemyataan yang patut
dibanggakan.
Sesuai dengan bunyi ayat (1) pasal 33 UUD 1945 bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”, mengisyaratkan interpretasi, jika
ada perusahaan/usaha ekonomi yang tidak
melaksanakan keusaha-bersamaan dan asas kekeluargaan, maka perusahaan/usaha
ekonomi itu bukan merupakan
bagian/tidak berhak disebut sebagai bagian dari perekonomian nasional, dengan
segala konsekwensi dalam hak dan kewajibannya.
4. Hajat hidup orang
banyak dan dikuasai oleh Negara
Mengenai ayat (2) dan ayat (3) pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 kalimat “ menguasai hajat hidup orang banyak” ( yang tidak lain dan tidak
bukan adalah “basic needs”) dan “digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” adalah ekspresi daripada adanya orientasi kerakyatan dan keadilan
social yang kuat. Strategi pembangunan decade 70-an (ILO) yang melaksanakan
pada “basic need strategy”, telah dicanangkan sejak tahun 1945 pasal 33
UUD 1945.
Untuk yang penting bagi Negara dan untuk hajat hidup orang
banyak itu, maka cabang-cabang produksi perlu benar-benar “diuasai oleh Negara”, hal ini memberikan petunjuk langsung bahwa
mekanisme pasar atau mekanisme harga bebas tidak boleh berlaku di dalam
perekonomian. Yang penting dan menjadi tujuan utama adalah pengamanan
kepentingan Negara dan kepentingan rakyat banyak itu. Mekanisme pasar yang ada
adalah suatu mekanisme yang harus dimanipulir baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk menjamin kepentingan Negara dan kepentingan rakyat banyak itu.
Apa yang penting untuk Negara itu pun pada hakekatnya adalah untuk kepentingan
rakyat banyak, untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia. (mekanisme pasar bebas di dalam situasi pasar yang
tidak sempurna, di samping tidak dengan sendirinya menjamin kepentingan itu,
juga tidak menjamin pemerataan, perubahan stuktural dan fundamental daripada
perekonomian nasional, tidak mendorong perubahan sikap dalam kehidupan ekonomi,
menumbuhkan berbagai ketimpangan antara pelaku dan kelopok –kelompok ekonomi
dan sebagainya). Di sinilah titik-tolak daripada perlunya ekonomi perencanaan,
suatu system ekonomi yang terpimpin yang tidak menyerahkan diri terhadap
jalannya kekuatan-kekuatan ekonomi pasar bebas yang tidak dapat menjamin
terselenggaranya masyarakat yang adil dan makmur.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang ayat(2) dan ayat (3) nya memberi peranan
dan tempat pernting pada Negara, adalah etatisme.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 menghendaki adanya etatisme, tetapi bukan etatisme penuh atau
mutlak sehingga dominasi Negara itu mendesak dan mematikan potensi dan daya
kreasi ekonomi di luar sector Negara. Etatisme mengenal tingkatan. Etatisme
yang dikehendaki ayat(2) dan ayat (3) itu adalah etatisme yang paternalistic, yang menghendaki negra sebagai
pengangkat martabat, mendorong perkembangan dan pertumbuhan ( agent of development), pengamman kepentingan
rakyat banyak, atau pun sebagai pelindung seluruh tumpah darah.
5. Ekonomi perjuangan
Yang perlu dikemukakan di sini adalah, bahwa Ekonomi
Pancasila adalah ekonomi perjuangan. Perjuangan untuk merelasasi cita-cita
kemerdekaan sehingga tercapai Indonesia yang benar-benar merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Ekonomi Pancasila, sejalan dengan perjuangan kedaulatan
politik, menetapkan dasar pembangunan ekonomi nasional melalui perjuangan
kedaulatan ekonomi. Economic sovereignty adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari political sovereignty. Dalam Ekonomi
Pancasila maka relevanlah tuntutan-tuntutan “menjadi tuan di negeri sendiri”,
sebagai ekspresi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang berkepribadian.
Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi dalam arti luas, memberi isi pada arti
perjuangan Ekonomi Pancasila, melepaskan dominasi ekonomi asing dan system
ekonomi dibawahnya, serta menegakkan ekonomi nasional yang berurientasi kepada kepentingan nasional secara dinamis dan kepentingan rakyat banyak.
6. Koperasi sebagai
soko-guru dan tulang punggung
Koperasi merupakan
soko-guru atau tulang punggung perekonomian Indonesia karena koperasi mengisi
baik tuntutan konstitusional maupun secara strategis mengisi tuntutan
pembangunan dan perkembanagannya. Koperasi merangkum aspek kehidupan yang
bersifat menyeluruh, substantive makro
dan bukan hanya partial makro. Catatan
kecil dari penulis: Pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982, Presiden
mengatakan bahwa koperasi adalah sebuah
satu soko-guru perekonomian, mungkin dimaksudkan beliau dalam arti kuantitatif, yaitu bahwa koprasi merupakan salah satu penyumbang pada produksi
nasional (Produk Domestik Bruto). Penulis berpendapat bahwa koperasi adalah
soko-guru (bukan salah satu) tidak saja pada pengertian kuantitatif, yaitu bahwa koperasi merupakan aspek kehidupan
social-ekonomis yang sifatnya menyeluruh, substantive makro dan bukan hanya
partial mikro. Koperasi dapat hidup pula di dalam bangun-bangun usaha
non-koperasi tetapi tidak sebaliknya.
III. Mengapa koperasi adalah soko-guru perekonomian
Kesoko-guruan koperasi dalam ekonomi nasional akan diuraikan
di bawah ini untuk melengkapi justification
yang tidak semata-mata normative.
1. Koperasi merupakan wadah penampung pesan politik bangsa
terjajah yang miskin ekonominya dan didominasi oleh system ekonomi penjajah.
Koperasi menyadarkan kepentingan bersama, menolong diri sendiri secara bersama
dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan produktif. Dengan demikian
koperasi menjadi penting sebagai organisasi perekonomian rakyat dalam
perlawanannya terhadap penindasan system modal asing colonial dan Pemerintahan
colonial. “… Di bawah penindasan modal raksasa asing, dengan pemerintahan asing
sebagai pelindung alamiahnya, seperti halnya di Indonesia sekarang ini, dan
yang hanya menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan, maka halnya system penghidupan
perekonomian rakyat yang diorganisir secara koperasi akan dapat melawan dengan
berhasil. Koperasi adalah juga bentuk pengorganisasian perekonomian rakyat,
yang dapat memberikan dasar-dasar kokoh kuat bagi pembangunan kembali ekonomi
kita….” (pidato inaugurasi Bung Hatta tahun 1926 untuk menjabat ketua
Perhimpunan Indonesia, asli dalam bahasa Belanda).
2. koperasi adalah bentuk usaha yang tidak saja menampung
tetapi juga mempertahankan serta memperkuat identitas dan budaya bangsa
Indonesia. Kepribadian bangsa bergotong-royong dan kekolektivan akan tumbuh
subur didalam koperasi. Selanjutnya koperasi sendiri akan lebih terbangun
dengan lebih menguatnya budaya itu.
3. koperasi adalah wadah yang tepat untuk membina golongan ekomoni
kecil/pribumi. Kelompok ekonomi kecil/peribumi adalah masalah makro, bukan
masalah partial di dalam kehidupan
ekonomi kita, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dalam hubungan ini koperasi memupuk kekuatan ekonomibersama
antara yang lemah untuk menghadapi kekuatan –kekuatan besar yang merugikan dan
mematikan yang kecil-kecil. Koperasi di sini lebih daripada memupuk kemandirian dan meningkatkan kemampuan produktid anggotanya melalui swakarsa dan swadayai saja, tetapi terutama memupuk kesadaran ekonomi dan
solidarita.
4. Seperti dikatakan oleh GBHN, kperasi adalah lembaga
ekonomi yang berwatak social. Sebagai wahana sosial-ekonomi kesoko-guruan
koperasi bersifat menyeluruh (substantive
makro) karena koperasi dapat hidup di dalam bangunan-bangunan usaha lain yang
non-koperasi. Koperasi dapat hidup pula, baik di dalam bangunan usaha swasta
apakah itu PT,CV dan lain-lain, di dalam bangun usaha Negara (perusahaan
Negara), maupun di dalam instansi-istansi lain khususnya kantor-kantor
Pemerintah.
5. koperasi adalah wahana yang tepat untuk merealisasi
Ekonomi Pancasila terutama karena terpenuhinya tuntutan kebersamaan dan asas
kebersamaan dan asas kekeluargaan. Dalam keseluruhan, koperasi adalah
kemakmuran rakyat sentries.
IV. Proklamasi untuk peran koperasi menjadi soko-guru
perekonomian
Menyusun suatu pemikiran untuk mengidentifikasi prakondisi
atau syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar koperasi benar-benar dapat menjadi
tulang punggung atau suko-guru perekonomian adalah bagian tersulit dalam
masalah pembangunan koperasi. Apalagi mengingat panjangnya dan luasnya
pengalaman kegagalan-kegagalan serta terbatasnya aneka keberhasilan.
Makalah ini tidak
berpretensi untuk dapat memberikan suatu prakondisi yang tuntas. Beberapa
prakondisi yang dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1) Adanya tekad politik yang konsekwen dari seluruh perilaku
ekonomi untuk melaksanakan pesan konstitusional menyusun Ekonomi Pancasila
2) Berhasilnya dipupuk dan ditingkatkan kesadaran akan makna
koperasi dan kesadaran untuk berkoperasi, sehingga koperasi bukan lagi
merupakan dari “atas” tetapi merupakan “ gerakan spontan massa”. Hingga saat
ini masih banyak koperasi didirikan karena perintah pejabat dan mencari
fasilitas.
3) Koperasi harus dapat masuk kedalam perekonomian nasional
secara integrative, segingga koperasi tidak saja menjadi obyek pembinaan
ekonomi tetapi juga harus mampu menjadisubyek yang ikut menentukan kegiatan
perekonomian secara strategis. Adanya koperasi harus merupakan kekuatan yang
diperhitungkan oleh bangun-bangun usaha koperasi-koperasi lain. Dengan
bangun-bangun usaha lain, koperasi harus mempunyai hubungan interdependensi
yangn menentukan, hubungan itu bukan hubungan dependensi. Dengan kata lain,
koperasi harus mempunyai rung gerak seluas-luasnya. Koperasi harus meluas tidak
saja dalam kuantitas dan kualitas secara tradisional, tetapi juga secara
dimensional menguasai pula sector-sektor kegiataan perekonomian dalam tingkat
makto-ekonomi. Pra-kondisi konsepsional demikian ini, tentu saja menurut
berbagai pra-kondisi teknis-teknis lebih lanjut.
Di dalam banyak hal, secara tidak sadar koperasi melakukan “
isolasi” terhadap ruang gerak dan ruang usahanya sendiri, baik yang berdasar
pada teritori, ketentualegal, kebijaksanaan, pola-pikir maupun sikap protektif
dari pemerintah. Isolasi ini menghambat pengintegrasian koperasi kedalam
perekonomian koperasi.
4) Dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan sesuai
dengan Ekonomi Pancasila dalam skala makro-ekonomi, dengan perinsip kehidupan
gotong-royong, saling menunjang dan isi-mengisi, maka sector koperasi yang
dalam kenytaanya masih lemah dan tertinggal dari sector-sektor lain, harus
secara integrative ditarik maju dan masuk kedalam proses perekonomian nasional
secara intensif. Pengintegrasian ini adalah proses perjuangan, namun dengan
system peraturan yang tepat oleh Pemerintahan dan kesadaran dari sector-sektor
non-koperasi dapat dihindarkan perjuangan itu menemui rintangan dan merupakan
pemborosan nasional belaka. Pengintegrasian ini akan meningkatkan ketahanan
nasional.
5) Semua peraturan perundangan yang sejiwa dengan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 harus dilaksanakan secara konsekwen. Sebaliknya semua
peraturan perundangan yamh bertentangan dengan jiwa dan penjabaran pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 khususnya pembangunan dan pengembangan koperasi secepatnya decabut.
Mengutip hasil perumusan Panitia Seminar Penjabaran Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 (oktober 1977): “… Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
harus kita laksanakan terus, walaupun perekonomian dunia sekarang ini menuju
kearah interdependensi global”.
6) koperasi harus dapat melaksanakan kebijksanaan
komersialnya secara cukup fleksibel sebagaimana perusahaan swasta lainnuya.
Antra lain koperasi tidak hanya menylenggarakan kegiatan usaha di bidang
komoditi tertentu saja (tanpa kemungkinan diversifikasi) dengan harga
komoditinya yang ditentukan pula (oleh Pemerintah). Wilayah kerja koperasi pun
sebaiknya tidak dibatasi. Pada
hakikatnya pembatasan ini akan mengurangi
kesempatan berpengalaman dan memagari peranan.
7) Tersedianya bantuan teknis dan dapat ditingkatkanya
kemampuan teknis-operasional koperasi. Prakondisi teknis itu meliputi antara
lain: financial/perkreditan, keahlian managemen, logistic, dan teknik kerjasama
(pendayagunaan peranan Dekopin)
Tidak sedikit
kegagalan koperasi atau kemandegan dalam perkembangannya semata-mata
karena alas an teknis operasional ini.
8) Koperasi sebagai sector kehidupan ekonomi yang nasih
lemah perlu mendapat perlindungan sebagaimana perlindungan terhadap “ infan industries” yang diberikan dengan tetap memberikan
persyaratan yang mendidik dan memperhitungkan “efficiency lost” yang terjadi.
V. Tahap-tahap pembinaan koperasi
Dalam usaha meningkatkan pengembangan koperasi, perlu
dibedakan berbagai tahap pembinan, untuk usaha menumbuhkan koperasi ataupun
untuk meningkatkan koperasi yang berbeda tingkat perkembanganya, diperlukan
system tahap pembinaan yang berbeda pula
Tahap-tahapnn itu adalah
1. tahap meningkatkan
kesadaran
Tahap ini dapat dibagi menjadi dua;
a. Tahap citra: yaitu
tahapan untuk memberikan citra positif mengenai koperasi. Dalam tahap pembinaan
citra ini , citra kegagalan koperasi pada masa lampau yang menjerakan
masyarakat harus dapat dihapuskan dengan memamerkan koperasi-koperasi dewasa
ini.
b. Tahap membentuk
kesadaran: yaitu tahapan pembinaan utntuk membentuk /meningkatkan kesadaran
berkoperasi. Dalam tahapan ini masyarakat harus dapat disadarkan bahwa koperasi
di ssamping merupakan “jalan terbaik” untuk mencapai keadilan dan kemakmuran
umum, juga merupakan bentuk usaha yang sesuai dengan falsafat bangsa Indonesia.
Dalam tahap meningkatkan kesadaran ini, pemerintah dengan
bantuan masyarakat, harus aktif dapat menunjukan dan memberikan bukti-bukti
nyata akan keampuan koperasi. Kesadaran juga perlu ditingkatkan melalui
penalaran akan kebenaran kopersi ini di dalam system pendidikan nasional sehingga
masyarakat dapat berorientasi kepada
system ekonomi dimana koperasi memperoleh pembenaran dan keterikatan nasional.
2. Tahap pemerintah
menuntut dari atas secara penuh
Dalam tahap ini
Pemerintah memenuhi persyaratan yang diperlukan agar kopersi bisa berdiri dan mulai berkoperasi, pemerintah ijin yang
diperlukan dan kemudahan fisik, bantuan penyusunan program bimbingan
pengelolaan, pembiayaan, bantuan kredit, jatah dan lain-lain sampai koperasi
dapat beroperasi merupakan tahapan “tuntas” ini.
3. Tahap de-ofisialisasi
Tahapan ini adalah tahapan di mana Pemerintah
mulai mengurangi berbagai bantuanya
dengan tetap menjaga kemungkinan kegagalan dalam nencapai kemandirian.
Campur tangnan pemerintah makin tidak langsung dan konsultatif.
4. T ahap kemandiriaa/otonom
Dalam tahap ini campur tangan pemerintah hanya dalam tingkat
monitoring/ pengamanan melalui kebijaksanaan makro, pada tingkatan ini.
Koperasi benar-benar mandiri, dapat ber-swakarya dan berswasenbada mewlalui
swakarsanya.
VI. Penutup
1. Tolak ukur
Apa yang belum
disinggun g dalam makalah ini adalah masalah tolak ukur keberhasilan dan keberhasilan koperasi ( tolak ukur
keberhasilan Pembangunan Nasional justru telah ditetapkan oleh pemerintah,
yaitu jika koperasi belum berkembang maju, maka Pembangunan Nasional belum di
katakana berhasil. Ditegaskan oleh bapak Presiden “ kalau koperasi belum berkembang dengan baik, dengan
sendirinya masyarakat adil dan makmur belum tercapai”. Penegasan oleh Bapak
Presiden ini memberikan kemantapan yang menggembirakan). Diharapkan dalam forum
ini dapat menolong lahirnya gagasan-gagasan mengenai tolak ukur ini. Tolak
ukur harus dikaitkan dengan misi utama
pembangunan koperasi menuju kepada koperasi sebagai soko-guru perekonomian
Indonesia. Prakondisi kesoko-guruan betapa sederhananya telah ditulis di
atas.Prakandisi ini diharapkan dapat menjadi salah satu titik-tolak penyusun
tolak ukur keberhasilan itu.
2. Pembinaan
Dalam pembinaan koperasi melalui berbagai system tahapan
tersebut di atas, berbagai hal perlu
diperhatikan:
a. Campur tangan Pemerintah di dalam pembinaan harus selektif, terbats pada hal-hal maupun pada
koperasi-koperasi yang benar-benar di perlukan sehingga tidak menimbulkan
penghamburan dana dan daya Pemerintahan serta tidak mengambil oper pekerejaan
pimpinan koperasi. Jangan sampai Pemerintah yang akhirnya berkoperasi sedangkan
pemimpin/anggota menjadi pihak yang pasif.
b. campur-tangan Pemerintah harus traktis-strategis, yaitu campur tangan secara khas yang diarahkan
kepada peningkatan kesadaran berkoperasi. Koperasi adalah persatuan orang
bukan persatuan modal. Jadi target pembinaanya adalah pada orangnya, dan orang
ini akan tetap bersekutu secara dinamis dan progrensif jika kesadarannya yang
dibina. Kesadaran pawagai negri mestinya cukup tinggi untuk berkoperasi.
c. Di dalam setiap tahapan system pembinaan campur-tangan
Pemerintah harus secara khas diarahkan kepada peningkatan kemandirian manusia-manusianya. Peningkatan kesejahtraan harus tiba
bersama-sama kemampuan kemandirian.
d. Bantuan teknis dari Pemerintah berupa tenaga ahli atau
tenaga administrasi (pewagai negri) yang di berikan kepada koperasi-koperasi,
perlu disertai dengan peringatan dan keberhati-hatian. Bagaimanapun juga
masyarakat kita masih feodalistis, masih melihat pegawai negri atau orang
Pemerintah sebagai atasan yang ditakuti, harus dianut dan dihormati. Di lain
pihak orang pemerintah tidak gampang bersikap rendah hati. Setiap “sok kuasa”,
sikap suka memerintah (yang lebih nyata dari pada sikap suka melayani), jika
muncul dapat menghancurkan iklim berkoperasi. Sikap feodalistis- birokratis ini
akan bertentangan dengan jiwa kopreasi. Jika kita tidak berhati-hati
benar-benar dapat terjadi bahwa yang
berkoperasi adalah pemerintahan sendiri.
e. Kepada para pegawai negeri dapat diharapkan adanya
kesadaran dan kemandirian lebih tinggi daripada masyarakat umumnya. Oleh karena
itu adalah taktis-strategis untuk membina koperasi percontohan.
f. Di dalam setiap bangun usaha yang non-koperasi, harus
selekasnya dapat didirikan kopersi bagi karyawannya. Dengan kepemimpinan dan
kemampuan manajemen yang ada di dalam perusahaan-perusahaan yang bersangkutan,
koperasi antar karyawan itu akan dapat “ketularan” keahlian mamajemen itu.
Pendirian koperasi karyawan itu dalam perusahaan Negara, PT, CV dan seterusnya,
serta dalam instansi pemerintah (KOperasi Pegawai Negri) dapat menjadi
potensial, teknis dan strategis.
g. Pemerintah harus meningikut-sertakan dan memanfaatkan
gerakan-gerakan perkoperasian yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
masyarakat pecinta koperasi, partisipasi mereka akan banyak membantu
Pemerintahan dalam membina koperasi.
h. Koperasi juga dapat tumbuh melalui kerjasama, saling
pengertian dan saling mengutamakan dalam system “anak angkat dan bapak angkat”
antara pengusaha besar dan pengusaha kecil. Untuk meringankan beban Pemerintah
dalam membina koperasi, maka pengusaha besar dapat dimanfaatkan untuk membina
koperasi. Seminar Permasalahan Ayam dan Telur antara para peternak besar dan
kecil yang deselenggarakan oleh Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia tanggal 28
September 1981 yang lalu membawa hasil terbesar, yaitu diperolehnya kesedihan
yang kecil untuk dibina, terutama melalui bentuk usaha koperasi.
Adalah keliru tidak memanfaatkan yang besar dan hanya
berorientasi untuk menahan perkembangan yang besar, bahkan secara terburu-baru
“memotong” yang besar. Namun hubungan antara keduanya harus tetap merupakan
hubungan interdependensi.
i. Dalam usaha meningkatkan pemerataan usaha melalui
koperasi, orientasi pembangunan harus tetap pada mementingkan “hajat hidup
orang banyak” atau mengutamakan pandangan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai
pengikatan koperasi tidak seiring atau merugikan masyarakat luas (konsumen).
Semua kepentingan (kepentingan konsumen, kepentingan produsen dan kepentingan
program pemerintah) harus sama-sama dilindungi melalui kacamata mengutamakan
hajat hidup orang banyak itu.
j. kesadaran akan perlunya berkoperasi (baik karena adanya
suruhan konsitusional maupun karena adanya mangfaat social ekonomis dan
strategis) perlu ditingkatkan melalui pameran-pameran
keberhasilan dan penyebaran
pengalaman keberhasilan. Peranan Tv dan RRI dan lain media masa dalam hal ini
perlu ditingkatkan. Di samping itu jiwa dan kecantikan berkoperasi sebagai
orientasi hidup bangsa Indonesia, harus ditenggelamkan melalui system
pendidikan nasional kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar